Back

Nilai Tukar Rupiah Tertekan Konflik Timur Tengah, USD/IDR Tembus 16.500, Tunggu PMI AS

  • Rupiah melemah ke 16.509/USD, tertekan konflik Iran-AS dan arus keluar modal asing.
  • Bursa Asia dan mata uang regional kompak terkoreksi di tengah lonjakan ketidakpastian global.
  • Investor menunggu data PMI AS & pidato The Fed, sebagai penentu arah pasar selanjutnya.

Nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) kembali melemah terhadap Dolar AS (USD), dengan kurs USD/IDR menembus level 16.509 pada perdagangan Senin siang menjelang sesi Eropa, mencatat penguatan 0,57%. Dalam sepekan terakhir, Rupiah telah terkoreksi 1,39%, tertekan oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

Rupiah Tertekan di Tengah Lonjakan Risiko Global

Pelemahan Rupiah dipicu eskalasi konflik antara Iran dan Israel, setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan pada Minggu. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut serangan itu sebagai tindakan keterlaluan dan bersumpah akan membalas dengan segala cara. Ia juga mengecam tindakan AS dan Israel sebagai agresi militer yang sembrono dan ilegal.

Menanggapi potensi pembalasan, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan peringatan keras bahwa setiap serangan balik dari Iran akan dibalas dengan kekuatan yang lebih besar. Trump menegaskan bahwa situasi ini akan berujung pada perdamaian atau tragedi besar bagi Iran. Ketegangan ini meningkatkan ketidakpastian global dan mendorong pelaku pasar beralih ke aset-aset safe haven.

Menurut pengamat militer Khairul Fahmi, serangan Amerika Serikat terhadap Iran tidak semata soal strategi militer atau konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah. "Ini adalah pengingat bahwa krisis global dapat terjadi dengan cepat dan menimbulkan efek domino yang luas," ujarnya seperti dikutip dari Kompas. Ia menekankan pentingnya Indonesia memperkuat ketahanan nasional untuk mengantisipasi berbagai risiko akibat dinamika global yang kian tak menentu.

Sentimen Negatif Bayangi Asia, Mata Uang dan Saham Tertekan

Tak hanya Rupiah, sejumlah mata uang Asia turut terdepresiasi. Yen Jepang – yang merupakan safe haven tradisional – turun 0,83% ke 147,27 per dolar, Won Korea ke 1.383, dan Dolar Singapura melemah ke 1,2905. Tekanan juga terasa di bursa saham Asia. Indeks ASX 200 Australia turun 0,38%, Nikkei Jepang melemah 0,17%, KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,36%, dan STI Singapura jatuh 0,46%. Sementara itu, IHSG anjlok 1,70% atau 117 poin ke 6.789 pada akhir sesi pertama.

Di tengah ketidakpastian global, Dolar AS sempat melonjak ke 99,08 sebelum terkoreksi tipis ke 98,97. Federal Reserve tetap memproyeksikan dua kali pemangkasan suku bunga tahun ini, namun lebih berhati-hati untuk 2026 dan 2027 dengan hanya satu kali penurunan 25 bp per tahun, ekspektasi ini membuat Dolar AS relatif stabil. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga di 5,5% setelah memangkas sebesar 25 basis poin pada Mei lalu.

Likuiditas Melambat dan Modal Asing Keluar, Daya Tarik Rupiah Tergerus

Dari sisi domestik, Bank Indonesia melaporkan bahwa likuiditas perekonomian (M2) per Mei 2025 tumbuh 4,9% secara tahunan menjadi Rp9.406,6 triliun, melambat dibanding 5,2% pada April. Pertumbuhan ini didorong oleh kenaikan uang beredar sempit (M1) sebesar 6,3% dan uang kuasi 1,5%. Kredit tumbuh 8,1% (yoy), namun tagihan bersih ke pemerintah mengalami kontraksi tajam 25,7%. Sementara itu, aktiva luar negeri bersih meningkat 3,9%.

Dari sisi aliran modal, investor asing mencatatkan jual neto sebesar Rp2,04 triliun sepanjang 16-19 Juni (minggu ketiga bulan Juni 2025), terdiri dari Rp1,78 triliun di pasar saham dan Rp3,72 triliun di SRBI, namun tercatat beli neto Rp3,47 triliun di pasar SBN. Sejak awal tahun, asing masih jual neto besar di saham dan SRBI masing-masing Rp47,15 triliun dan Rp28,69 triliun, namun menahan tekanan dengan beli neto Rp44,93 triliun di SBN. Naiknya premi CDS Indonesia ke 81,59 bp dari 76,93 bp juga mencerminkan meningkatnya persepsi risiko pasar terhadap Indonesia yang berdampak negatif pada daya tarik Rupiah di mata investor global.

Pasar Tunggu Data PMI AS di Tengah Gejolak Global

Para pelaku pasar kini menantikan rilis data PMI pendahuluan AS hari ini – dirilis pada pukul 13:45 GMT (20:45 WIB) – sebagai petunjuk arah pasar berikutnya, di tengah ketidakpastian geopolitik yang masih membayangi sentimen global. Selain itu, data Penjualan Rumah yang Ada (Existing Home Sales) serta sejumlah pidato dari pejabat The Fed juga akan menjadi perhatian investor.

Indikator Ekonomi

PMI Manufaktur S&P Global

Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur S&P Global, yang dirilis setiap bulan, merupakan indikator utama yang mengukur aktivitas bisnis di sektor manufaktur AS. Data tersebut diperoleh dari survei terhadap eksekutif senior di perusahaan swasta dari sektor manufaktur. Respons survei mencerminkan perubahan, jika ada, pada bulan ini dibandingkan bulan sebelumnya dan dapat mengantisipasi perubahan tren dalam rangkaian data resmi seperti Produk Domestik Bruto (PDB), produksi industri, lapangan kerja, dan inflasi. Angka di atas 50 menunjukkan bahwa ekonomi manufaktur secara umum berkembang, yang merupakan tanda bullish bagi Dolar AS (USD). Sementara itu, angka di bawah 50 menandakan bahwa aktivitas di sektor manufaktur secara umum menurun, yang dipandang sebagai bearish bagi USD.

Baca lebih lanjut

Rilis berikutnya Sen Jun 23, 2025 13.45 (Pendahuluan)

Frekuensi: Bulanan

Konsensus: 51

Sebelumnya: 52

Sumber: S&P Global


Harga Minyak Mentah Hari ini: Harga WTI Bullish pada Pembukaan sesi Eropa

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik pada hari Senin, di awal sesi Eropa. WTI diperdagangkan di $74,71 per barel, naik dari penutupan hari Jumat di $73,77
Mehr darüber lesen Previous

Prakiraan Harga GBP/JPY: Mempertahankan Bias Bullish Dekat 198,00

Pasangan mata uang GBP/JPY diperdagangkan di wilayah positif selama tiga hari berturut-turut di dekat 197,95 sepanjang awal sesi Eropa pada hari Senin
Mehr darüber lesen Next